JEJAKNARASI.ID. JAKARTA – Dalam catatan sejarah, DPR pernah dibubarkan melalui cara non konstitusional. belakangan ini, viral banyak wacana ajakan untuk membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI di media sosial.
Kritik terhadap DPR memang bukan hal baru, belakangan ini banyak kebijakan-kebijakan yang dianggap mengistimewakan para anggota DPR.
Spontan, Ahmad Sahroni, Anggota DPR dari fraksi Nasdem langsung merespon isu tersebut. Menurutnya pembubaran DPR merupakan hal yang tidak masuk akal.
Pernyataannya memang terkesan kasar tetapi memang memiliki dasar secara konstitusional.
Dasar Hukum : DPR Tidak Dapat dibubarkan
Pasal 7C UUD 1945 hasil Amandemen menutup celah pembubaran DPR olehPresiden, dalam pasal tersebut disebutkan bahwa Presiden tidak dapat membekukan atau membubarkan DPR.
Prinsip ini lahir dari sistem presidensial yang menempatkan eksekutif dan legislatif sejajar untuk mencegah konsentrasi kekuasaan.
Meski begitu, politik selalu menyimpan ruang kemungkinan. Ungkapan klasik, “politics is the art of the impossible, made possible”, tetap relevan.
Bukan tanpa dasar belakangan ini isu pembubaran DPR mencuat. Sebab tidak lepas dari bentuk kekecewaan masyarakat, adapun bentuk kritik yang menimbulkan isu tersebut antara lain:
1. Besarnya gaji dan tunjangan anggota DPR;
2. Kebijakan kontroversial seperti revisi UU Pilkada yang dianggap mengakali putusan MK;
3. Kasus dugaan korupsi dan gaya hidup mewah anggota DPR;
4. DPR dianggap kurang empati, contohnya saat berjoget saat sidang beberapa waktu lalu, sementara rakyat sedang menghadapi kesulitan ekonomi;
5. Kurangnya bentuk pengawasan terhadap pemerintah dan produk legislasi yang tidak berpihak pada rakyat;
Dari poin ini, seharusnya jadi bahan instropeksi diri bagi DPR untuk kembali kepada jati dirinya sebagai wakil rakyat.
Sejarah Pembubaran DPR Melalui Langkah Non Konstitusional
Dalam sejarah Indonesia, DPR pernah dibubarkan melalui langkah non konstitusional. Pada tahun 1960, Presiden Soekarno pernah mengeluarkan dekret pembubaran DPR atas pemilu tahun 1955.
Sementara di tahun 2001, Presiden Gus Dur sempat mencoba membekukan DPR dan MPR. Justru langkah tersebut berakhir dengan dilengserkannya.
Dari peristiwa tersebut membuktikan langkah pembubaran DPR secara non-konstitusional selalu menimbulkan krisis politik. Sebab, reformasi memperkuat posisi DPR agar tidak lagi bisa dibubarkan presiden.
Langkah Konstitusional: Melalui Amandemen dan Pemilu
Secara hukum, langkah pembubaran DPR jalan satu-satunya adalah melalui amandemen UUD 1945.
Tetapi, langkah ini sangat sulit karena membutuhkan persetujuan MPR, yang sebagian besar anggotanya malah justru dari DPR.
Alternatif lain adalah boikot total Pemilu oleh rakyat, tetapi skenario ini hampir mustahil terjadi.
Dengan demikian, secara politik praktis, upaya membubarkan DPR hampir tidak mungkin dilakukan.
Jalan Revolusi Jadi Solusi ?
Secara teori, revolusi atau kudeta bisa mengganti seluruh tatanan negara termasuk DPR.
Namun, cara ini jelas berbahaya, tidak sah secara hukum, tidak demokratis, dan berisiko menimbulkan instabilitas politik serta kehancuran ekonomi.
Oleh karenanya, jika publik tidak puas terhadap DPR, solusi terbaik adalah reformasi struktural melalui tekanan publik, advokasi politik, dan mekanisme demokratis.
DPR tidak bisa dibubarkan dalam sistem presidensial Indonesia. Upaya revolusi hanya akan merusak tatanan bangsa.
Jalan terbaik adalah mendorong DPR melakukan introspeksi, memperbaiki citra, menghindari kemewahan dan korupsi, serta berani menggunakan hak konstitusional seperti interpelasi, angket, dan pernyataan pendapat.
Hanya dengan cara demikian DPR dapat kembali dipercaya rakyat dan menjadi pilar demokrasi yang kuat.
Penulis : Dr (c) Riad Sahara, MT