JEJAKNARASI.ID – Perkembangan ekonomi digital dalam satu dekade terakhir telah mengubah wajah perdagangan global. Di Indonesia, e-commerce tumbuh pesat, dengan nilai transaksi yang diperkirakan mencapai miliaran dolar AS per tahun.
Namun, dibalik geliat tersebut, muncul tantangan besar bagaimana memastikan aktivitas ekonomi digital memberikan kontribusi adil terhadap penerimaan negara melalui pajak?
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah menegaskan bahwa transaksi e-commerce dikenakan pajak dengan perlakuan yang sama seperti perdagangan konvensional. Prinsip ini termuat dalam Surat Edaran Dirjen Pajak SE-62/PJ/2013 dan SE-06/PJ/2015. Namun kenyataannya, penerapan prinsip “sama rata” tersebut belum sepenuhnya menjawab kompleksitas bisnis digital yang menembus batas yurisdiksi, menggunakan aset tak berwujud, dan melibatkan aktor lintas negara.
Tantangan Struktural Pajak e-Commerce
Pertama, tantangan identifikasi subjek pajak. Banyak pelaku e-commerce, terutama asing, memperoleh keuntungan besar dari pasar Indonesia tanpa memiliki bentuk usaha tetap (BUT) di dalam negeri. Akibatnya, negara sulit memungut pajak atas aktivitas mereka. Kasus Google dan Facebook menjadi contoh nyata bagaimana entitas digital global dapat memonetisasi pasar lokal tanpa kewajiban pajak perusahaan di Indonesia.
Kedua, tantangan administrasi dan pemungutan pajak lintas negara. Karakter digital memungkinkan transaksi terjadi tanpa dokumen fisik dan dengan identitas anonim. Mekanisme pemotongan PPN untuk jasa digital lintas batas pun sulit dilakukan, karena konsumen akhir bukan subjek pemungut pajak. Akibatnya, potensi penerimaan negara dari sektor ini belum tergarap optimal.
Ketiga, tantangan klasifikasi penghasilan dan model bisnis baru. Era digital menghadirkan produk-produk berbasis data, seperti iklan daring, jasa cloud, dan aplikasi freemium, yang tak mudah dikategorikan ke dalam penghasilan konvensional. Apakah penghasilan dari data pengguna tergolong royalti, jasa, atau bentuk lain? Ketidakjelasan ini berimplikasi pada kepastian hukum dan risiko pajak berganda.
Kebutuhan Kebijakan yang Adaptif dan Terintegrasi
Saat ini, regulasi perpajakan e-commerce di Indonesia masih tersebar dalam berbagai aturan sektoral dan belum terintegrasi. Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan UU Perdagangan memang mengatur dasar hukum aktivitas e-commerce, tetapi belum menyentuh secara rinci aspek perpajakannya.
Pemerintah sebenarnya telah menyiapkan road map e-commerce nasional yang memuat arah kebijakan lintas sektor, termasuk penyederhanaan administrasi pajak bagi pelaku usaha rintisan (startup), insentif bagi investor, dan kewajiban pendaftaran usaha digital asing. Namun, implementasi kebijakan ini masih menghadapi tantangan koordinasi antar kementerian dan lemahnya kapasitas sumber daya manusia di bidang perpajakan digital.
Langkah penting yang dapat diambil pemerintah adalah memperkuat integrasi data dan sistem pembayaran nasional. Penerapan National Payment Gateway dan kebijakan Automatic Exchange of Information (AEoI) dapat membuka akses informasi transaksi digital bagi otoritas pajak. Selain itu, kewajiban pembentukan badan usaha lokal bagi penyedia layanan Over the Top (OTT) seperti Google dan Meta menjadi langkah strategis agar aktivitas mereka dapat dipajaki secara sah di Indonesia.
Menuju Pajak Digital yang Adil dan Progresif
Pada akhirnya, tujuan utama pemajakan e-commerce bukan sekadar meningkatkan penerimaan negara, melainkan menciptakan keadilan fiskal di era ekonomi digital. Pelaku usaha lokal yang taat pajak tidak boleh dirugikan oleh raksasa teknologi global yang bebas memanfaatkan pasar Indonesia tanpa kontribusi sepadan.
Namun, pemerintah juga harus menjaga keseimbangan. Industri e-commerce lokal masih tergolong infant industry yang membutuhkan perlindungan dan insentif agar tumbuh. Pendekatan perpajakan yang terlalu kaku justru dapat menekan inovasi dan daya saing. Oleh karena itu, kebijakan pajak digital harus dirancang adaptif, bertahap, dan berkeadilan, dengan fokus pada edukasi, penyederhanaan administrasi, serta transparansi lintas sektor.
Ke depan, tantangan utama bukan hanya menegakkan aturan, tetapi juga membangun sistem perpajakan yang mampu mengikuti kecepatan inovasi digital. Indonesia memerlukan sinergi antara otoritas pajak, kementerian terkait, dan pelaku industri untuk memastikan bahwa setiap klik di dunia maya juga memberi manfaat nyata bagi pembangunan nasional.
Penulis: Sakti Wiradinata Kusuma










