JEJAKNARASI.ID, TANGERANG – Apa jadinya pentas drama komedi kolosal sejarah itu, dilakoni oleh para pejabat kota Tangerang?.
Pentas drama komedi kolosal sejarah yang dibintangi oleh para pejabat Kota Tangerang menjadi sorotan utama dalam Perayaan Festival Al-Azom ke XII. Drama yang berjudul ‘Sejarah Tugu Tetenger’ ini menyuguhkan cerita unik dan menarik tentang sejarah Tugu Tetenger di Kota Tangerang.
Kemunculan pejabat menjadi daya tarik tersendiri ketika para pejabat ini berkolaborasi dengan seniman-seniman di Dewan Kesenian Kota Tangerang (DKT). Apalagi, pentas kali ini menyuarakan kebangkitan dan kisah sejarah yang melingkupi Kota Tangerang. Cerita yang diangkat adalah kisah sejarah masa kejayaan masyarakat Tangerang di masa lalu. Mulai masa Raden Aria Wangsakara yang melakukan perlawanan dengan tentara VOC gencatan senjata yang diceritakan pada tahun 1651 di timur Cisadane.
Menurut Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika, Mugiya Wardhany, tujuan diadakannya pementasan drama ini untuk mengenalkan sejarah Kota Tangerang kepada masyarakat. Mengingatkan kembali terutama untuk kaum muda mengenalkan bahwa Kota Tangerang itu punya sejarah yang panjang dan lama.
Pasalnyanya masyarakat mengetahui Kota Tangerang itu mungkin baru-baru saja, padahal sudah berdiri dari 1600-an, sudah ada sejak zaman Raden Aria wasangkara dan masyarakat harus bangga bahwa kota ini punya sejarah yang panjang dan penuh dengan pahlawan salah satunya Nyimas Melati salah satu pahlawan wanita.
“Pementasan ini digelar selain untuk memperkenalkan sejarah Kota Tangerang, juga untuk melestarikan seni budaya dan mengenalkan sejarah Tangerang,” ucap Mugiya di sela-sela selesai pementasan drama kolosal ‘Sejarah Tugu Tetenger’ yang berlangsung di Taman Elektrik Pemerintahan Kota Tangerang, Kamis malam (26/6/2025).
Selain itu Kadis Kominfo, Kadis Budpar, Kadis Pora, Kebid Pemuda juga ikut beradu akting dalam pagelaran ini. Keterlibatan para para pejabat Kota Tangerang ini, menurut Mugiya, sebagai wujud kepedulian, cara membangkitkan dan merawat seni budaya daerah, sehingga budaya warisan leluhur tersebut terjaga dengan baik serta dapat diwarisi para generasi muda nantinya.
Seperti Nyimas Melati, lanjutnya dari beberapa sumber bacaan seorang yang berkarisma suaranya keras, jago naik kuda dan itu luar biasa sekali pada saat itu dan mungkin itu harus jadi role model untuk kita semua, paparnya.
“Lakon Sejarah Tugu Tetengger’ yang dibawakan dengan melibatkan banyak pemain ini menceritakan tentang jejak sejarah kejayaan masa lalu Tangerang untuk menggugah atau membangkitkan kembali spirit kejayaan masa lalu Tangerang, pada kehidupan bermasyarakat saat ini, yang harus dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari,” ujarnya.
Lakon Sejarah Tugu Tetenger diawali dari perjuangan Aria Wangsakara, Aria Jayasantika, senopati Ingalaga, pangeran Sugiri, di wilayah Tangerang, lalu menampilkan Sosok pahlawan wanita yang gagah perkasa, Nyimas Melati.
Cerita kemudian beranjak pada sejarah penamaan Tangerang, yang semula dari Raden Aria Wangsakara mendirikan tugu dengan nama Tetengger. Tugu tersebut kemudian diresmikan oleh Pangeran Sugiri yang diperankan oleh Sasongko (seniman lukis) yang kala itu dalam ceritanya mewakili ayahnya Sultan Ageng Tirtayasa.
Diceritakan tugu tersebut didirikian sekitar 100 meter di sebelah barat Cisadane ke arah Pos. Serta cerita bagaimana Nyimas Melati yang diperankan oleh Dr. Mugiya Wardhany, SE. M.Si, Kepala Dinas Kominfo Kota Tangerang, yang kemudian marah besar terhadap perlakuan orang-orang Belanda yang telah merubuhkan Tugu Tetengger. Dengan seenaknya membongkar tugu tetengger yang sudah dibangun oleh leluhur dengan alasan pembangunan jalan Anyer ke Panarukan.
“Fragmen heroik warga Kota Tangerang dalam menyelamatkan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia juga tersaji dalam drama kolosal ini,” tambahnya.
Pementasan sendiri berlangsung cukup meriah dengan ditonton oleh banyak masyarakat Kota Tangerang. Drama dikemas secara komedian penuh pesan-pesan yang juga dipandu oleh komedian empat sekawan, Ginanjar, Deri dan Yadi Sembako, yang disutradarai oleh Ali Taba.
Pementasan berdurasi 30 menit ini disajikan dengan apik dengan memadukan musik Gambang Kromong, hingga lawakan yang diperankan secara kolaboratif antara komunitas Seniman Kota Tangerang serta unsur masyarakat lainnya.
“Kalau yang berperan sebagai Raden Aria Jayasantika, adalah Kepala Dinas Pemuda dan Olahraga Bapak Kaonang dan buat saya sendiri itu pengalaman baru dan seru karena menantang apa ya ada sisi lain dari pementasan. Main teater atau drama yang pertama kita harus hafal, ya minimal alurnya.” “Dan yang saya belajar tadi kita harus baca lawan. Itu penting, karena masyarakat hari ini egonya sangat tinggi. Maunya menang sendiri. Bermain teater saya jadi belajar membaca lawan main, jaga situasi. Jadi kalau mau bagus, jangan maju sendiri. Tapi, harus bareng-bareng. Nggak bisa bersinar sendiri,” imbuhnya.
Di akhir pementasan, para kepala dinas membacakan pantun: Cisadane dan Kalipasir, Burung Elang nyemplung ke sawah, Nyok rame-rame kita mikir Kota Tangerang adalah kota sejarah. Pementasan kolosal ini, lanjut Kadis, juga menunjukkan kalau Kota Tangerang adalah kota berbudaya dan sejarah.
“Mari bergandeng tangan membangun Kota Tangerang, jangan takut mencoba hal yang baru,” pungkas Mugiya Wardhany.
Diketahui pera pemain lainnya yaitu, EB Magor, Medy Kesesi, Ika Lestari, Syahroni, Cak Imim, Ujang Urik, Marsel, Supendi dan Ahmad Soleh sebagai peñata musik. **