JEJAKNARASI.ID, JAKARTA – Direktur Eksekutif Migrant Watch, Aznil Tan menanggapi lolosnya 24 calon Duta Besar Republik Indonesia dalam uji kelayakan yang digelar oleh DPR RI. Menurut Aznil jabatan duta besar (Dubes) bukanlah ruang kehormatan seremonial, melainkan ujung tombak perlindungan warga negara di luar negeri.
Ia menambahkan, dalam konteks ketenagakerjaan global, para Dubes tidak bisa lagi mengabaikan nasib jutaan pekerja migran Indonesia (PMI) yang telah menyumbang triliunan rupiah dalam bentuk remitansi, namun masih sering terpinggirkan dari prioritas diplomasi.
“Dubes jangan menjabat hanya untuk gagah-gagahan saja. Saya melihat sebagian besar calon dubes yang lolos tidak memahami secara mendalam isu ketenagakerjaan migran, bahkan ada yang cenderung bersikap anti terhadap PMI. Mereka ini berpotensi memperketat akses serta prosedur agar PMI yang masuk semakin minim dan mereka terhindar dari tanggung jawab,” kata Aznil Tan kepada media Rabu (9/7/2025).
Mantan Aktivis 98 ini mengingatkan agar para Dubes yang akan segera dilantik tidak mengulangi pola lama diplomasi elitis yang hanya tampil saat perayaan hari nasional atau menyambut kunjungan pejabat tinggi.
Selain itu, ia juga mendesak Presiden Prabowo Subianto untuk secara tegas menginstruksikan para duta besar yang akan segera dilantik agar mengambil peran aktif dalam merebut pasar kerja global dan memperkuat sistem pelindungan pekerja migran Indonesia (PMI).
“Pekerja migran adalah keniscayaan bagi Indonesia sebagai negara dengan surplus tenaga kerja. Jangan anggap ini beban, justru jadikan surplus ini sebagai kekuatan ekonomi bangsa dengan cara merebut pasar kerja global. Malah dunia butuh tenaga kerja Indonesia,” tegasnya.
Ia menegaskan, konsekuensi dari penempatan PMI di berbagai negara adalah tanggung jawab negara untuk memastikan pelindungan yang nyata di lapangan. Persoalan ini Dubes kedepan harus pro aktif dalam menangani persoalan PMI bermasalah.
“Presiden Prabowo perlu menginstruksikan setiap kedutaan besar RI untuk memiliki shelter yang layak, layanan hukum yang responsif, dan mekanisme darurat yang terkoordinasi. Jangan sampai PMI dibiarkan menghadapi risiko sendirian tanpa kehadiran negara,” tegas Aznil.
Sebagai pembanding, pendekatan progresif yang diterapkan oleh pemerintah Filipina. Mereka secara serius memperlakukan pekerja migrannya sebagai aset bangsa, bukan beban.
Filipina membangun shelter permanen, menyediakan bantuan hukum langsung, serta mengalokasikan anggaran khusus di tiap negara tujuan utama. Negara hadir bukan untuk menghukum, tapi untuk memulihkan martabat dan masa depan warganya,” ujarnya.
Menurut Aznil, pendekatan Filipina jauh lebih manusiawi dan solutif, terutama dalam menangani kasus-kasus pekerja migran yang kabur akibat kekerasan atau pelanggaran kontrak.
“Mereka Filipina membangun shelter permanen, menyediakan bantuan hukum langsung, serta mengalokasikan anggaran khusus di tiap negara tujuan utama. Negara hadir bukan untuk menghukum, tapi untuk memulihkan martabat dan masa depan warganya,” ujarnya.
Menurut Aznil, pendekatan Filipina jauh lebih manusiawi dan solutif, terutama dalam menangani kasus-kasus pekerja migran yang kabur akibat kekerasan atau pelanggaran kontrak.
“Mereka tidak langsung dipulangkan, melainkan diberi pelatihan ulang dan difasilitasi untuk kembali bekerja secara legal lewat jalur resmi. Ini bukti bahwa negara bisa berpihak, jika memang mau hadir,” pungkasnya.
Migrant Watch mendorong agar para duta besar yang akan bertugas menjalankan fungsi diplomatik secara aktif dan berpihak pada rakyat. **