JEJAKNARASI.ID, JAKARTA – Pidato Wakil Presiden Indonesia Gibran Rakabuming Raka soal bonus demografi yang diunggah lewat kanal youtubr resminya menuai berbagai komentar, salah satunya dari pengaman politik Rocky Gerung
Menurut Rocky, point yang disampaikan Gibran malah memperlihatkan ketidakpahamannya soal konsep tersebut dan akhirnya menjadi bahan olok-olok.
“Saya kira itu hal yang memang dari awal dikenali oleh netizen bahwa kalau tidak mengerti konsep dasarnya buat apa memaksakan bicara? Apalagi bicara dengan teks, bicara dengan fasilitas teknologi, lalu terlihat bahwa konsep dasar dari bonus demografi pengetahuannya nol,” ucap Rocky, dikutip dari kanal youtube pribadinya, Rocky Gerung Official, Jumat (25/04/2025).
Ia pun menyoroti Gibran sebagai seorang wakil presiden, semestinya memahami betul bonus demografi bekerja. Konsep ini tidak lepas dari pembanding regional maupun kebutuhan pasar masa depan. Namun, justru aspek-aspek penting tersebut tidak tampak sama sekali dalam penyampaian Gibran.
“Jadi Indonesia bisa punya bonus demografi karena penduduk usia produktif, tapi kalau SDMnya itu sampai sekarang yang punya hak pilih 68 persen atau bahkan lebih hanya bersekolah sampai tahun ke-7 artinya tidak lulus SMP?” tanya Rocky.
Rocky menyebut Indonesia tak akan mampu bersaing dengan negara tetangga seperti Vietnam, Thailand, atau Singapura di tahun 2045 jika kualitas sumber daya manusianya tetap stagnan.
Tak hanya soal isi pidato, Rocky juga menyoroti kehadiran Gibran di panggung politik nasional sebagai produk rekayasa politik. Gibran menjadi Wapres lantaran dipaksa ayahnya, Joko Widodo (Jokowi), demi menciptakan simbol bagi generasi muda.
“Kapasitas beliau (Gibran) memang tidak cukup di situ, tapi dipaksakan, itu bahayanya. termasuk karena dipaksakan oleh bapaknya (Jokowi) untuk tampil supaya jadi semacam magnet bagi generasi baru,” ungkap Rocky.
Rocky Gerung mengakhiri komentarnya dengan menyebut kekosongan gagasan terlihat jelas dalam pidato Gibran, dimana menurutnya hanya mengulang narasi tanpa isi.
“Jadi kekosongan pikiran terlihat dari kekosongan tatapan mata, kekosongan dari konsep yang tidak bisa dikembangkan,” ujarnya.